Setiap penghujung akhir tahun ada banyak pertanyaan tentang berbagai hal yang diajukan, tidak terkecuali tentang persoalan lingkungan di Indonesia, khususnya di Kalbar.
“Apa kabar Lingkungan Kalbar saat ini?”. Pertanyaan ini tentu saja tidak bisa hanya dijawab dengan kalimat, “Kabarnya baik-baik saja” dengan mimik wajah yang tenang dan tanpa merasa punya tanggung jawab moral.
Seperti kita ketahui, menjelang akhir abad ini, lebih dari 50.000 jenis tumbuhan akan mengalami kepunahan, dan hampir 4.000 spesies vertebrata endemic berpotensi hilang. Sementara sekitar 60 persen ekosistem dunia dari hutan dan lahan sampai karang laut serta sabana akan mengalami kerusakan serius.
Sepertinya isu lingkungan saat ini bukan hanya menjadi sebuah PR seorang aktivis lingkungan, pemerintah dan jajarannya, melainkan dari segenap rakyat yang ada di muka bumi ini juga harus turut menggalakkan bumi ini agar tetap ‘hijau’ selamanya.
Persoalan lingkungan di Indonesia memang masih memprihatinkan, persis seperti gaya menjawab pertanyaan diatas. Tetapi keprihatinan itu muncul justru ketika pergerakan yang dilakukan para aktivis itu memang tidak segaris lurus dengan hati nurani masyarakat untuk turut mendukung. Disinilah titik persoalannya. Isu lingkungan dalam bingkai kesejahteraan masyarakat? Sebuah orientasi yang terdistorsi karena lemahnya penggerak arah kebijakan?
Sejauh ini, pemerintah melalui sektor kehutanan telah lama memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat pedesaan dalam menyediakan pelayanan lingkungan. Tetapi, sumber daya ini belum dikelola secara berkelanjutan atau adil. Kemudian, di sisi lain kerangka administratif dan peraturan di Indonesia belum dapat memenuhi tuntutan akan adanya pembangunan yang berkelanjutan meskipun adanya dukungan kebijakan dan pengembangan kapasitas dari pemerintah sendiri.
Memang diakui, untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia tidak mudah. Hal inilah yang mempengaruhi kinerja menjadi buruk akibat peraturan dan prosedur di lapangan yang masih buruk, oleh karena komitmen instansi-instansi sektoral, kemudian dipengaruhi pula oleh rendahnya kebijakan daerah dan tantangan kapasitas di semua tingkatan.
Tidak hanya beberapa persoalan-persoalan diatas, hal lain yang memicu dampak buruk lingkungan adalah pengetahuan tentang dampak negatif lingkungan masih minim. Meski kebijakan lingkungan telah memberikan investasi yang besar namun hal ini tidak mampu menjadi kriteria pendukung meminimalisir pemanasan global.
Penulis merasa pertimbangan-pertimbangan lingkungan masih sangat minim di tingkat perencanaan dan penyusunan program, terutama dalam proses perencanaan investasi publik dan dalam rencana tata guna lahan dan sumber daya daerah.
Maka pemerintah perlu mengubah strategi pembangunan global menjadi pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Karena jika, kita lihat pada data diatas peningkatan konsumsi dan percepatan perubahan iklim, juga bisa berakibat pada mundurnya berbagai pencapaian yang sudah berhasil diraih sebelumnya melalui program-program tujuan pembangunan milenium. Selain itu, program-program penuntasan kemiskinan bisa mengalami hambatan besar karena penurunan nilai dan pertumbuhan ekonomi akibat penyusutan kekayaan alam. Catatan akhir tahun 2010 ini, mari selamatkan lingkungan kita!
0 komentar:
Posting Komentar