Desa itu kini telah menjadi lautan Lumpur Lapindo dan permadani hitam, tidak sedikit jiwa yang dikorbankan, sejak tahun 2006 lalu, baru saja aku menginjakkan kaki disana, namun kini telah hanyut dan tidak tersisa.
Berikut, adalah ulasan ceritaku ketika berada di Surabaya menuju Porong-Sidoarjo yakni seputar perjalananku menuju wisata Lumpur.
Sabtu (23/2) terik matahari sedikit menguras keringatku, meski pada hari itu, aku bersama suamiku memiliki rencana untuk mengunjungi wisata lumpur atau yang sering disebut wilayah Lumpur Lapindo yang kini telah menelan tiga desa dan ratusan warga, namun hal tersebut tidak mengurungkan niatku.
Untuk menginjakkan kaki yang telah menenggelamkan tiga desa yakni Desa Renokenongo dan Desa Jatirejo di Kecamatan Porong serta Desa Kedungbendo di Kecamatan Tanggulangin menempuh waktu yang tidak sedikit, sekitar 1,5 jam, ditambah lagi dengan hiruk pikuk kendaraan yang melewati jalur Surabaya-Porong sangat padat, maklum saja, jalur ini sering digunakan untuk mobil-mobil besar untuk angkut muatan.
Jam tangan menunjukkan pukul 15.20 WITA berangkat dari rumah nenekku yang terletak di Jalan Jetis Kulon, Surabaya Jawa Timur, rute yang dilalui tidak berbeda seperti yang kulewati ketika Desember 2006 lalu, yakni pertama kalinya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri situasi Lumpur Lapindo yang ketika itu telah menelan tiga desa, namun tidak separah seperti yang kulihat kemarin, ketika itu, beberapa rumah memang sengaja ditinggalkan oleh penghuninya. Rumah penduduk, sekolah, serta pabrik yang sebelumnya mewarnai dinamika sosial ekonomi di tiga desa itu pada akhirnya hanya menyisakan puncak atap bangunan yang tertangkap pandangan mata. Sama tragisnya dengan itu, jagat flora mati mengering dalam kubangan lumpur panas. Sementara hamparan sawah telah berubah menjadi "permadani" lumpur.
Saat itu, (Kamis, 14 Desember 2006) aku pernah mewawancarai salah satu korban Lumpur Lapindo, Sumardi, kalau tidak salah begitu namanya, karena sudah lama juga laporan perjalananku pada waktu itu kubuat, tapi, aku masih ingat perawakannya, dengan rambut keriting dan perawakan yang tidak besar, pria setengah tua itu duduk di sisi “sungai” Lumpur Lapindo, dan aku pun tidak lupa percakapan kami pada waktu itu, walaupun dengan durasi yang cukup singkat. Tidak lama kemudian, ia beranjak dari pandangannya sesaat dan menghampiri gubuk atau pos petugas yang menangani penyedotan air Lumpur Lapindo yang dialirkan melalui sungai terdekat.
“Sedang apa pak disini, sebagai petugas juga ya,” tanyaku sambil memperkenalkan diri.
“Tidak mbak, aku dulu tinggal disini, tapi rumahku sudah tak tinggali, gara-gara Lumpur Lapindo ini,” ujarnya dengan bahasa Jawa yang begitu kental, walaupun sampai saat ini, aku tidak tahu dimana keberadaannya, meski ketika itu ia pernah mengatakan tinggal di gubuk penampungan dengan harapan ada penggantian tempat tinggalnya.
Tidak terasa, perjalananku tiba di ‘wisata Lumpur” pukul 16.15, waktu masih menyisihkan aku untuk ternyata, ditempat itu sudah ramai dikunjungi masyarakat luar pulau Jawa yang penasaran ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Suasana tampak berubah, dulu, masih banyak petugas yang lalu lalang melakukan penyedotan Lumpur, serta tampak lengang warga yang ingin menikmati pemandangan Lumpur pada saat itu.
Namun ketika kedua kalinya aku menginjakkan kaki disana, beberapa korban Lumpur Lapindo menjual pernak-pernik yang dapat dimanfaatkan, yang benar-benar kuperhatikan ketika itu salah satu diantaranya yang menjual Compact Disc (CD) tentang terjadinya lumpur Lapindo hingga penghujung tahun 2007. Aku hanya bisa melihat dan tidak mampu untuk membelinya.
Tiba di tempat masuk, penjaga pintu memaksaku merogoh Rp. 1000 dari kocek celanaku, yang pasti yang menjaga pintu masuk itu juga merupakan korban Lumpur Lapindo yang ingin meraup rezeki, bagaimana tidak, tempat tinggal para korban hanya berpayung posko penampungan, tidak ada lagi rumah bersandarkan tempat tidur, kursi yang empuk, dan siaran televise yang menarik, kini yang terbesit di pikiran para korban hanyalah “bagaimana aku bisa makan pada hari ini dan esok”.
Plang “Wisata Lumpur” itu telah kulewati, terdapat beberapa polisi yang berjumlah 30 orang, selain itu ada pula tentara yang memakai seragam andalannya yakni berjumlah 10 orang, tidak ketinggalan satpam pun turut terlibat di kawasan tersebut.
Aku sudah lupa, apa nama desa yang kuinjak ketika itu, karena pemandangan yang kulihat hanya lapangan sepak bola berpermadani warna hitam, mungkin ukurannya bisa mencapai lima atau sepuluh kali lipat ukuran lapangan sepak bola yang sebenarnya.
“Bisa dipakai untuk bal-balan ( main sepak bola, red) mbak, Cuma gak ada yang berani, soale ana (ada, red) yang masih basah,” kata adikku, Didit yang turut mengantarkan ke lokasi tersebut.
Para petugas masih berjaga-jaga, namun dari kejauhan pandanganku, ada beberapa orang yang mengambil genteng-genteng rumah yang berjejer rapi dan bershaf, mungkin ada 200 rumah atau lebih yang kini tidak memiliki genteng dan pintu serta jendela, karena beberapa korban Lumpur Lapindo terpaksa memeretelinya lalu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Genteng yang mereka ambil itu, ternyata rumah milik mereka sendiri, kuperhatikan dengan seksama peristiwa ketika itu.
Kekhawatiran korban Lumpur Lapindo tampaknya semakin getir, karena, jumlah semburan makin bertambah saja. Saat itu, gambar yang mampu kuabadikan, terdapat semburan yang muncul dari balik menara masjid yang telah merendam bangunan masjid dan menyisakan menara hingga ukuran satu meter saja, tampak semburan itu tampak jelas dari jauh.
Keganasan Lumpur Lapindo bukan hanya menelan tempat tinggal, rumah ibadah dan sarana fasilitas penduduk, tapi beberapa batas ring yang dulu pernah dibuat, kini telah jebol sehingga lumpur semakin meluas.
Fenomena alam ini, ternyata menjadi pemandangan yang menarik bagi para wisatawan yang hadir saat itu, pengunjung berupaya untuk mengabadikan gambarnya bersama keluarga.
Pelajaran paling berharga dari kenyataan pahit ini ialah memberikan pengakuan akan timbulnya dilematik antara pengusaha tambang minyak dengan masyarakat sekitar. Dalam konteks tenggelamnya tiga desa di Porong itu, tidak terelakkan telah mencuat problema piramida korban manusia dengan masyarakat sebagai tumbal pengorbanannya. Pertaruhannya ke depan ditentukan oleh besar kecilnya dimensi-dimensi kemanusiaan dalam proses dan penyelesaian relokasi warga ke tempat lain. Jika relokasi itu ternyata hanya menggulirkan petaka bagi masyarakat yang terlanjur diposisikan sebagai basis terbentuknya piramida pengorbanan, maka masyarakat oleh sebuah proses pengusaha pertambangan minyak tidak hanya terjadi di Porong, tetapi bakal mencuat di tempat-tempat lain di atas persada Nusantara ini. ■
1 komentar:
Salam,
terima kasih telah menuliskan laporan perjalanan anda ke lumpur lapindo. Moga-moga dibaca byk orang jadi semakin byk yg apa yg terjadi. Sekedar saran, lain kali jgn pake istilah wisata deh, lebih tepat ziarah kali yah, kan mbak gak mungkin ngerasa gembira atas apa yang dilihat disana toh?:)
korbanlapindo
korban.lapindo@gmail.com
korbanlapindo.blogspot.com
Posting Komentar