Kriminalisasi kebijakan ternyata menjadi topik hangat yang diangkat dalam forum Rakernas VII Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) yang berlangsung di Kota Pontianak dari tanggal 4-7 Desember kemarin.
Ketua DPRD Kota Pontianak, H. Gusti Hersan Aslirosa, SE, kepada saya mengatakan bahwa saat ini telah terjadi kegelisahan di kalangan anggota legislatif karena semakin banyaknya kasus `korupsi` yang dituduhkan kepada DPRD, khususnya DPRD Kota periode 1999-2004. Permasalahan lain adalah, banyaknya peraturan yang dituangkan pemerintah pusat serta mengambil kebijakan terlalu cepat, sehingga peraturan timbul peraturan-peraturan baru.
Saat ini, kata Hersan banyak pimpinan dan anggota DPRD Kota yang menerima `vonis publik` sebelum kasusnya selesai diproses peradilan. Padahal menurut salah seorang Ketua Adeksi ini vonis publik yang dibebankan kepada anggota legislatif itu jauh terasa lebih berat daripada vonis pengadilan, karena banyak anggota DPRD yang sebelumnya adalah tokoh masyarakat yang dihormati. ”Padahal belum tentu para anggota DPRD itu benar-benar bersalah,” ujarnya.
Inilah yang mendorong Adeksi untuk mengangkat isu tersebut dalam Rakernas VII. Bahkan dalam pelaksanaan Rakernas Adeksi VII kemarin, panitia menjadikan isu tersebut dalam sebuah topik seminar tersendiri.
Hal yang cukup luar biasa dalam rakernas kali ini, panitia mampu mengundang, dua orang menteri. Mereka adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan, Mutia Hatta dan Menteri Dalam Negeri, RI Mardiyanto serta mengundang pakar-pakar yang berkompeten untuk membahas persoalan tersebut, seperti E.E. Mangindaan (Ketua Komisi II DPR RI), MPM, Dirjen BAKD Depdagri, Ir. Timbul Pudjianto serta Peneliti LIPI Dr. Syamsuddin Harris, MA.
Hersan juga memaparkan bahwa anggota DPRD periode 1999-2004 yang dijerat kasus hukum lebih banyak disebabkan oleh karena badan legislatif periode tersebut adalah badan legislatif periode transisi yang menjalankan produk hukum transisi. Adapun produk hukum saat itu adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah). Salah satu Peraturan Pelaksana dari UU tersebut adalah PP No. 110 Tahun 2000, yang sama sekali tidak memiliki dasar pijakan. Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaksanaan hak (keuangan dan administrasi DPRD) diatur oleh Peraturan Tata Tertib DPRD dan bukan oleh Peraturan Pemerintah.
Persoalannya menurut Ketua DPD Partai Golkar Kota Pontianak ini, pihak Kejaksaan menjadikan PP 110/2000 sebagai acuan untuk menjerat pimpinan dan anggota DPRD. ADEKSI menganggap bahwa PP 110/2000 tidak memiliki pijakan hukum yang jelas. Terlebih PP tersebut oleh MA sudah dinyatakan tidak sah atas upaya judicial review DPRD Propinsi Sumatera Barat. Namun pada kenyataannya PP tersebut masih dipakai oleh kejaksaan sebagai dasar dakwaan. Padahal menurut aturan hukum, seharusnya sebuah peraturan yang dinyatakan tidak sah oleh MA atas upaya judicial rewiew, maka dengan sendirinya peraturan tersebut tidak berlaku lagi.
Adeksi sendiri menurut Hersan sangat mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Namun Adeksi tidak ingin pemberantasan korupsi dilaksanakan tanpa dasar hukum, karena ratusan bahkan ribuan anggota DPRD yang telah dijerat tuduhan tersebut sebenarnya juga sedang melaksanakan perintah Undang-Undang. ”Kami berharap melalui Rakernas VII yang dilangsungkan di Kota Pontianak ini, persoalan-persoalan tersebut dapat dicarikan solusinya,” pungkasnya.□
0 komentar:
Posting Komentar