Cagar budaya di Kota Pontianak kini hampir punah. Di tengah desakan agar pemerintah melakukan penyelamatan, pemerintah kota bergeming. Walaupun pelestarian dan pembinaan situs sejarah tidak mudah, namun upaya itu akan dilakukan. Perda mungkin bisa jadi pilihan.
Kota Pontianak memiliki titisan budaya dan keanekaragaman ciri khas. Ciri khas ini telah menjadi incaran pendatang dan pengunjung yang ingin melihat langsung khazanah itu. Selain itu, sebagai kota yang dilewati garis Khatulistiwa, Kota Pontianak juga memiliki kekayaan benda cagar budaya sebagai salah satu bagian peninggalan nenek moyang sebelumya.
Cagar budaya yang ada di kota ini cukup banyak jumlah dan macamnya, baik dalam bentuk masa peninggalan dari masa prasejarah hingga masa revolusi. Melihat banyaknya potensi cagar budaya yang ada, maka sesungguhnya Kota Pontianak mempunyai sumbangan yang besar dalam memperkaya khasanah budaya bangsa. Sebut misalnya Keraton Kadariah, SD 1 Jalan Tamar dan Batu Layang. Walaupun, Pemerintah Kota Pontianak belum secara maksimal memberdayakan dan melestarikan keberadaannya.
Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan baik di masa kini maupun masa yang akan datang.
Dengan demikian perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Sebagai kekayaan budaya bangsa, benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
***
Melakukan pelestarian rupanya tidak mudah. Dilema yang dihadapi saat ini, kata M. Fauzie Kholilullah, Ketua Komisi A DPRD Kota Pontianak, tidak adanya peraturan yang mampu menegaskan apakah pengelolaan peninggalan tersebut dikelola oleh ahli waris atau dari Pemerintah.
Ditambah lagi persolaan ahli waris yang tidak mungkin menyerahkan peninggalan tersebut untuk dijadikan cagar budaya.
Meski diberlakukan peraturan ataupun ketentuan, seharusnya, kata Fauzie ditemukan kesepakatan antara Pemkot dan ahli waris, yakni bagaimana pengelolaanya, apakah ahli warisnya sendiri atau pemerintah memberikan bantuan dan stimulan berupa dana untuk perbaikan dan pemeliharaan.
“Pemerintah harus ada perhatian dengan cagar budaya yang ada di Kota Pontianak seperti keraton, karena bangunan ini memiliki nilai historis dengan tugu khatulistiwa,” kata Fauzie anggota fraksi PKB.
Kalau perlu katanya, Pemkot menganggarkan bantuan tersebut melalui APBD. Sehingga setiap tahunnya, dilakukan renovasi ulang. Bukan mengubah bangunan yang ada, tapi menjaga bangunan tersebut tetap utuh namun sesuai dengan konsep bangunan pada awalnya.
Ia cukup prihatin dengan keberadaan cagar budaya yang ada di Kota Pontianak belum sepenuhnya tersentuh, sehingga terlihat tidak ada perhatian dari pemerintah sendiri. Padahal katanya, dari UU sendiri telah mengatur begitu ketat.
Sekarang, kata ia, tidak perlu menunggu peraturan baru untuk menangani permasalahan perbaikan ataupun pemeliharaan peninggalan-peninggalan ini, yang diperlukan kata Fauzie adalah itikad baik dari Pemkot untuk segera melakukan action atau tindakan.
Hal yang sangat mungkin kata Fauzie, Pemkot tidak ingin adanya temuan dari BPK yang memaparkan bahwa adanya penyelewengan dana terhadap pengelolaan cagar budaya tersebut.
Menurut ia, penggunaannya Pemkot dapat melakukan transparansi ke publik, yakni laporan pengeluaran keuangan yang disiarkan melalui media massa. Sehingga laporan ini jelasnya bukan hanya menjadi konsumsi masyarakat, tapi instansi terkait juga mendapatkan laporan tertulis terhadap pengeluaran anggaran tersebut.
Dengan adanya transparansi ini, kata Fauzie maka ada tanggung jawab dari pemerintah dan ahli waris terhadap cagar budaya yang ada di Kota Pontianak sendiri. Paling tidak katanya, kesepakatan antara pemkot dan ahli waris adalah hal utama yang perlu didahulukan. Untuk aturan-aturan sendiri, tidak akan efektif apabila kesepakatan ini tidak dimunculkan.
Kepedulian Pemkot untuk mempertahankan cagar budaya ini juga perlu pemikiran cerdas agar budaya yang ada dalam masyarakat tidak hilang.
Senada, juga diungkapkan anggota DPRD lainnya, Paryadi. Sekretaris Komisi B, komisi yang menangani masalah pembangunan dan sektor pariwisata yang ada di Kota Pontianak.
Menurutnya, memang sudah sepantasnya cagar budaya yang ada ini, tetap dipertahankan keberadaannya. Namun ada beberapa hal yang perlu diingat, bahwa peninggalan-peninggalan dari leluhur ini tidak mudah dikelola oleh Pemerintah. Karena ahli waris belum tentu menyerahkan hasil peninggalan ini, mengingat keberadaannya harus ditangani oleh anak cucunya sendiri.
Meski demikian, peninggalan dan benda pusaka yang ada pun kini telah diperkuat dan dilindungi, dengan Undang Undang Republik Nomor 5 Tahun 1992, yang didalamnya telah mendefinisikan dan yang dimaksud benda cagar budaya adalah, benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, kemudian benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Selain itu situs juga dimasukkan ke dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungan yang diperlukan bagi pengamanannya, seperti Tugu Khatulistiwa, Batu Layang, dan Makam Pahlawan.
Dijelaskan Paryadi cagar budaya ini, memiliki umur yang sangat lama sehingga untuk menjaga kelestariannya, perlu adanya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya.
“Perlindungan dan pemeliharaan atau pengelolaan benda cagar budaya dan situs pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, meskipun demikian masyarakat, kelompok, atau perorangan dapat berperan serta,” kata anggota PKB ini.
Bahkan masyarakat yang memiliki atau menguasai peninggalan ini, katanya, juga dibebani kewajiban untuk melindungi dan melestarikannya lengkap dengan sanksi hukumnya.
***
Wakil Walikota Pontianak, Sutarmidji mengakui untuk peninggalan-peninggalan nenek moyang terdahulu, seperti cagar budaya yang ada di Kota Pontianak kini memang telah berubah fungsi. Sehingga untuk mempertahankan keberadaannya, Sutarmidji mengatakan perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) walaupun sebelumnya pernah ditampik oleh anggota dewan Kota Pontianak bahwa perda ini tidak perlu diberlakukan lantaran dalam UU sudah ada aturan yang mengatur secara jelas.
Tidak hanya itu, bangunan-bangunan yang seharusnya dipertahankan ciri khasnya kini pun telah berubah menjadi bangunan modern dan hilang makna dan fungsi dari bangunan sebelumnya.
Pihaknya pun tidak mampu berbuat, dan hanya dapat memberikan solusi yakni memberlakukan perda cagar budaya. Sehingga, bagi mereka yang telah merubah fungsinya diberikan sanksi dan ditetapkan untuk melakukan pengelolaan lebih lanjut terhadap cagar budaya itu.
“Kita akui peninggalan dan cagar budaya yang ada di Kota Pontianak kini semakin berkurang, sehingga perlu adanya perda yang mampu menetapkan bahwa peninggalan tersebut perlu adanya perhatian,” katanya.
Pemikiran-pemikiran brilian yang akan dimunculkannya, yakni tetap mempertahankan ciri khas Kota Pontianak dengan wisata air jalan gertak dengan kayu belian dan tempat-tempat bersejarah. Realisasinya kata ia, tentu memerlukan biaya yang sangat besar. Karena pembangunan turap yang rencananya akan menghubungkan Pelabuhan Seng Hie menuju Alun-Alun Kapuas, memerlukan dana ratusan juta.
Hal ini dilakukan, agar masyarakat dapat merasakan indahnya panorama Sungai Kapuas dan hilir mudik aktivitas masyarakat Kota Pontianak.
Sutarmidji memaparkan, bahwa peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Kota Pontianak ini memang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Tapi, upaya ini katanya tidak akan berhasil, apabila masyarakat tidak turut mendukung dan merealisasikan rencana-rencana ini.
0 komentar:
Posting Komentar