Framing Sebagai Cerminan Wartawan

Pelatihan Jurnalisme Lingkungan di Balikpapan 5-7 September yang hanya berlangsung selama dua hari meskipun terbilang singkat, tapi masih ada ramuan “pedas” yang tersisa.
Mengangkat sebuah berita tanpa framing yang dibawakan jurnalis dalam penulisannya akan sama dengan menyampaikan pesan tanpa makna. Jurnalis harus mampu membentuk framing tersebut sehingga budaya, kebiasaan, dan faktor-faktor lain yang menyangkut kompleksitas kebudayaan terdapat keteraturan yang jelas.
Framing atau bingkai tulisan merupakan cara atau kiat menulis dengan memfokuskan diri bagaimana seorang penulis dapat mengemas dan membingkai berita.
Menurut Wahyu Wibowo, doktor filsafat UGM Yogyakarta dan mantan Pemred Tabloid Paron yang telah menelurkan 21 judul buku ini menganggap realitas tidak dibentuk secara ilmiah, juga tidak oleh Tuhan, namun justru sebaliknya ia dibentuk oleh konstruksi. “Alhasil, tiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, tergantung pada pengalaman, pendidikan dan lingkungan pergaulannya,” kata Wahyu yang menganggap lingkungan juga sangat berpengaruh pada pembentukan konstruksi ini.
Ia mencontohkan tesis utama Berger, yang isinya menyatakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus, artinya seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya.
Selanjutnya, proses dialektis melewati tiga momen, yakni upaya mengekspresikan diri dalam hidup, kemudian realisasi eksternalisasi dan pembatinan dunia objektif ke dalam kesadaran individu, sehingga subjektif individu memiliki nilai-nilai etis.
Dari tesis Berger ini, jelas Wahyu menjadi sebuah contoh bahwa modernitas versus tradional yang terjadi secara berlawanan. Kaitannya dengan framing dalam berita maupun artikel, teks berita maupun artikel tidak bisa disamakan dengan sebuah sepeda dalam realitas. Karena ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas, oleh karena itu realitas dapat diartikan sebagai peristiwa. Kemudian dengan perusakan lingkungan seperti illegal logging atau illegal fishing misalnya dapat dikonstruksikan berbeda-beda oleh tiap wartawan.
“Melihatnya dapat melalui kearifan lokal yang kontekstual,” ujar Wahyu sambil menerangkan bagaimana menangkap framing yang menarik agar isu lingkungan tetap menjadi perhatian pembaca.
Berita dalam pandangan konstruktivisme yang timbul bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Menurut Wahyu, kata ini merupakan hasil persepsi, pandangan yang secara luas, pemahaman dan kategorisasi wartawan.
Dua aspek utama dalam framing, dapat dibedakan menjadi dua yakni bagaimana menulis fakta atau realitas. “Memilih berarti berdasarkan ideologi jurnalisnya, memilih berarti ada yang dibuang dan ada yang dipilih,” tambah Wahyu yang sudah menekuni profesi jurnalis sejak 1979. Kemudian menulis fakta ataupun realitas dengan menyajikan fakta yang dipilih kepada pembaca, yakni aspek menuliskan fakta ini berkaitan dengan penonjolan realitas yang dipilih, tapi tetap terpaku pada judul, fokus berita atau amanat berita.
Pelatihan yang diselenggarakan hanya dua hari ini, menyimpulkan bahwa framing adalah upaya atau strategi yang dipakai jurnalis untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok sehingga lebih diperhatikan pembaca, atau cara bercerita dengan gugusan ide yang diorganisir sedemikian rupa dengan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa.
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (P3ISIP) Dwi Urip Pramono mengatakan, dalam framing tersebut perlu ada makna dan pesan, karena hal ini merupakan bagian terpenting dalam komunikasi. “Makna yang diberikan kepada suatu pesan sebagian besar sudah ada pada pengetahuan kita,” papar Urip.
Ketika seseorang memperhatikan dan menerima pesan dari lingkungannya, ia mengacu pada perbendaharaan makna yang ada di otaknya dan memilih makna yang ia yakini sebagai makna yang paling sesuai bagi pesan tersebut.
Namun dari segi penyampaian pesan ini, juga dikontrol oleh budaya yang telah mengondisikan seseorang terhadap suatu pesan. Dari segi cara-cara manusia berpikir, berkeyakinan, atau bertindak didasarkan pada sistem kebudayaan yang dimilikinya.
“Budaya juga menentukan bagaimana orang menyandi pesan, memberi makna, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan serta menafsirkan pesan,” katanya.
Pikiran yang dituangkan dalam tulisan juga akan menjadi budaya yang terinternalisasi dan prosesnya berkenaan dengan bagaimana orang mengorganisasi dan memproses informasi.Namun kebanyakan, dari pesan yang disampaikan, jelas Urip, cenderung disampaikan melalui perilaku manusia. Yakni dari setiap bentuk tingkah laku manusia, seperti berbicara, bernyanyi, berdandan, mengedipkan mata dan menguap. Perilaku-prilaku ini tentunya akan berpotensi sebagai sumber informasi bagi orang lain untuk diseleksi, diperhatikan, diingat, diberi makna, dan ditanggapi.

0 komentar: