Hari itu masih siang, Kamis (6/9) di Kota Balikpapan. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 12.49 Wita. Tidak ada yang berbeda dengan Kota Pontianak.
Dua hari mengikuti Diklat Jurnalistik Lingkungan Hidup di Kota Balikpapan, saatnya merilekskan diri melepas teori dan berbicara dengan alam di kota itu. Langkah kaki kugerakkan keluar dari Hotel Le Grendeur. Bukan untuk memanjakan diri, tapi ada tugas akhir yang sangat penting: meliput bencana longsor yang terjadi di Kelurahan Telagasari Kecamatan Balikpapan Tengah.
Perjalanan dimulai dengan menggunakan kijang berplat KT merah. Isinya tidak terlalu penuh, hanya 8 orang saja di dalamnya. Aku pun duduk di tengah diapit oleh teman sebayaku, Yati dan Husni. Mereka jurnalis andal sejak aku masih duduk di bangku kuliah.
Aku mulai meraba-raba jalan dan tatanan kota yang tampak rapi dan bersih ini. Tidak ada kesemrawutan. Warga Balikpapan agaknya mengerti bagaimana memberlakukan aturan yang sudah ditetapkan.
“Gila bersihnya, kok tidak ada sampah ya,” kataku dan langsung diberi lontaran oleh Ayub jurnalis asal Radar Tarakan, Grup Jawa Pos yang mengatakan tingkat kesadaran di kota ini memang sangat tinggi, padahal tidak ada perda yang mengaturnya. Sementara di kota lain, termasuk Pontianak ada perda kebersihan tapi kotanya tak kunjung bersih dan licin dari sampah.
“Dulu Pemkot Balikpapan pernah akan memberikan perda sampah, namun dari masyarakatnya sendiri enggan dan menolak dengan adanya rencana ini, dan akhirnya tingkat kesadaran ini muncul dengan sendirinya,” kata Ayub yang mengaku pernah tiga bulan ditugaskan oleh Pemrednya di kota ini.
Perjalanan membutuhkan 20 menit dari hotel yang kusinggahi. Akhirnya tiba di salah satu posko di mana tempat tersebut digunakan untuk menampung bantuan dan korban bencana longsor.
Kota Balikpapan memang sedang mengalami musibah sejak Sabtu (1/9) lalu, kondisinya sangat mengenaskan. Bayangkan saja sebuah jalan raya yang tidak dilewati sungai ataupun parit di sekitarnya tiba-tiba ambrol dan meluluhlantakkan lingkungan seisinya. Jumlah rumah yang hancur berat berjumlah tiga unit, 13 dengan kerusakan biasa dan 76 rumah yang harus dievakuasi.
Jumlah korban yang meninggal 5 orang, sebagian luka ringan (12 orang). Walaupun tidak menunjukkan angka yang signifikan, tapi pemukiman yang ada di sekitar kawasan tersebut luluh lantak karena direndam lumpur, seperti halnya lumpur Lapindo yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Sebuah eskavator pun merubuhkan sebuah rumah tingkat tiga. Dan masih ada dua rumah yang diberi tanda silang yang akan menyusul untuk dirobohkan. Kepala Dinas PU Kota Balikpapan, Muhaimin mengatakan, dalam jangka pendek pihaknya hanya mampu melakukan pemerataan bangunan dengan tanah.
“Untuk merelekokasi korban bencana itu nanti, kita masih memikirkan bagaimana mengatasi longsor ini agar tidak timbul kembali,” katanya sambil menjelaskan kiat memasang sheet fail (penghalang air, red) yang terletak 6 kaki di bawah permukaan jalan.
Padahal kata warga sekitar, Junaidi yang mengaku melihat pemandangan ini sebelumnya mengatakan, di kawasan tersebut terdapat telaga yang menampung air. Cuma kejadian ini ternyata dipicu oleh perbuatan manusia yang sengaja membangun pemukiman di hutan kota yang terletak di atas kawasan tersebut. Daerah yang berbukit-bukit ini pun akhirnya tidak mampu menampung curah hujan yang ketika itu Kota Balikpapan diguyur hujan tidak henti-hentinya.
“Longsor ini terjadi pukul 05.00 subuh, dan ketika itu saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, air mengalir dari atas dan akhirnya menghancurkan rumah-rumah yang ada di sekitarnya,” kata Junaidi memaparkan peristiwa longsor tersebut.
Lalu, tampak dari beberapa bangunan di bawahnya dipenuhi lumpur yang telah mengering. Beberapa untaian baju yang sengaja dijemur oleh pemiliknya dalam seutas tali yang berukuran 5 meter masih tetap dibiarkan.
Akhirnya kutinggalkan sesaat pemandangan itu, karena panitia mengajakku bergegas untuk naik kendaraan yang menciptakan emisi. Tapi ketika kaki kulangkahkan, tiba-tiba aku terhenti di sebuah posko, seorang nenek, Nur Aisyah menceritakan keluhannya kepada wartawan lokal, kudengarkan sesaat, “Ayo cepat, peserta KLH naik mobilnya masing-masing,” kata salah satu panitia menyerukan suaranya untuk memberitahukan pengumuman itu agar dihiraukan. Aku tetap saja mendengar keluhan Nur, ia adalah ibu beranak sembilan, kini ia terlunta-lunta menunggu kepastian dari Pemkot Balikpapan untuk memberikan tempat yang layak kepadanya.
“Suami saya meninggal terseret longsor dan ditemukan di samping masjid, itu pun cucu saya yang menemukannya,” kata wanita yang berusia 68 tahun ini. Aku terus memaksa diri ingin tahu bagaimana kondisinya ketika itu, walaupun waktu terus memaksaku untuk meninggalkan tempat yang memilukan.
Nur terpaksa harus pindah dari rumah anaknya yang satu ke rumah lainnya tidak merasa nyaman tinggal bersama anak-anaknya ia pun terpaksa mengungsi ke posko yang disediakan. Aku pun ditarik oleh salah satu temanku, “Cepat mobilnya akan berangkat,” kata Robby salah satu jurnalis dari Harian Berkat.
Dari perjalanan inilah, akhirnya aku mendapatkan sebuah gagasan, bahwa lingkungan rusak oleh tangan manusianya sendiri, bukan karena Tuhan marah atau lingkungan yang tidak ingin bersahabat. Tapi karena manusia juga tidak ingin menggandeng diri dengan alamnya. Dengan kesempatan dan keinginan sesaat, namun mengorbankan sejumlah penduduk dan tempat peristirahatan.
Semoga peristiwa ini tidak terjadi di Kalimantan Barat, dan masyarakatnya mampu menjaga lingkungan yang telah disediakan oleh sang Khalik, waktu masih ada dan belum terlambat. (habis)
0 komentar:
Posting Komentar