Pengelolaan Hutan Masih Memprihatinkan

Aulia Marti
Borneo Tribune, Pontianak
Hingga 2005, pemerintah Indonesia merasa memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta ha. Dari luasan itu, fungsi hutan untuk konservasi 23,2 juta ha, kawasan lindung 32,4 juta ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi 35,6 juta ha, dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha. Hal ini dikatakan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, Muayat Ali M, dalam kuliah umum yang digelar di Aula Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Rabu (27/6) kemarin siang.
Dari data yang diperoleh di IBSAP, 2003, meskipun Indonesia hanya memiliki luas 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, namun kekayaannya meliputi 38.000 jenis tumbuhan. Bahkan, 10 persen flora di dunia, ada di Indonesia. Ada 515 jenis mamalia. Reptilia 511 jenis, 7,3 persen dari reptil dunia. Burung 1.531 jenis, 17 persen jenis burung dunia. Amphibi 270 jenis. Binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis.

Sejumlah spesies langka, seperti, seperti orangutan, harimau, badak dan gajah asia yang sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terkaya dengan kehidupan alam liarnya.

Sejurus dengan itu, kerusakan hutan alam di Indonesia, terus bertambah setiap tahunnya. Pada 1950 – 1985, angka kerusakan mencapai 32,9 juta hektar, atau setara dengan 942 ribu hektar setiap tahun. Penguasaan 70 persen pasar plywood dunia pada tahun delapan puluhan, juga memicu kehilangan hutan seluas 45,6 juta juta hektar, atau rata-rata deforestasi 5,7 juta hektar hutan pertahun, angka itu terjadi pada 1985 – 1993. Ini adalah angka tertinggi deforestasi di Indonesia. Seperti fenomena gunung es, angka ini bisa jadi lebih tinggi dari yang sebenarnya terlihat. Hingga 2004, lahan kritis di hutan mencapai 59,17 juta hektar dan lahan kritis diluar kawasan hutan mencapai 41,47 juta hektar. Sebagian besar dari lahan yang rusak tersebut tersebar di 282 Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pada 2006 , laju kerusakan hutan mencapai 2,72 juta hektar pertahun. Setiap menitnya, kita kehilangan hutan seluas lima kali lapangan sepakbola. Jika penebangan liar yang terjadi dalam satu menit tersebut dinilai, maka pemerintah Indonesia kehilangan pendapatan dari bea dan pajak yang tidak dibayari sebesar US$ 1300, lebih dari pendapatan rata-rata tiga keluarga Indonesia dalam satu tahun. Segolongan kecil keluarga usaha konglomerat dan elit, memperoleh pendapatan 24.000 dolar AS.

Pengelolaan dan perlindungan hutan hingga saat ini, masih memprihatinkan. Sampai saat ini, pemerintah belum memiliki data kawasan dan potensi sumber daya hutan yang akurat. Ditambah lagi, organisasi pengelola hutan (KPH) dan pengelolaan hutan belum terwujud.

Kondisi pengelolaan hutan dari pihak pemerintah hingga saat ini, masih lebih banyak mengurus perizinan pemanfaatan hasil hutan.

Menurutnya, jika ditinjau lebih jauh lagi, Undang-undang yang mengatur tentang Kehutanan, yang tertuang dalam UU Nomor 41 tahun 1999, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004, sampai saat ini kawasan hutan yang sudah dikukuhkan hanya mencakup 10 persen saja.

Hadir pula, Sofyan P Warsito, Laboratorium Ekonomi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Ia mengatakan, hutan sebagai komponen sistem. Yakni, fungsi utama dari seluruh hutan adalah perlindungan ekosistem. Oleh karena itu, penetapan kawasan patut ditetapkan menjadi kawasan hutan.
“Syaratnya, pemerintah harus cerdas. Yakni, sadar terhadap tugasnya sebagai representasi masyarakat secara keseluruhan,” kata Warsito.

Dekan Fakultas Kehutanan, Abdurani S. Muin dalam kuliah umum bertema, hutan dan perlindungan hutan, mengatakan, sumber daya hutan mempunyai peranan sangat penting. Keberadaan hutan sebenarnya tidak hanya dimanfaatkan oleh manusia saja, namun makhluk lain.

“Oleh karena itu, jika terjadi kerusakan hutan, bukan hanya manusia saja yang merasakan dampak buruknya, tapi binatang yang hidup di hutan juga akan terganggu,” kata Abdurani.

Menurutnya, sejak hutan alam ditebang dalam rangka meningkatkan devisa negara, telah digunakan silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI). Dalam TPI tersebut, telah diatur persyaratan mengenai luas areal tebangan, dan jatah pohon yang boleh ditebang. Selain itu, harus melakukan pembinaan areal bekas tebangan.

Dalam TPI tersebut, diharuskan meninggalkan pohon inti. Yang berguna sebagai penghasil biji, dan merupakan pembentukan tegakan utama pada rotasi tebang berikutnya. Namun, dalam perjalanannya, TPI tidak dijalankan dengan baik. Hingga, terjadilah kerusakan hutan alam.

Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, mengakibatkan kebutuhan bahan baku dari kayu terus meningkat. Hal ini berakibat harga kayu terus melambung naik. Akibat kebutuhan yang terus meningkat ini, menyebabkan penebangan orang tidak punya aturan dalam melakukan penebangan. Orang tidak hanya menebang pohon dewasa, tetapi juga pohon muda, berdiameter kurang dari 20 cm.

“Kondisi harga kayu yang terus tinggi, menyebabkan penebangan hutan tetap terus berlangsung. Meskipun, dalam bentuk ilegal,” kata Abdurani.

Sistem eksploitasi yang dilaksanakan oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan), telah mengakibatkan kerusakan fisik hutan yang serius, baik secara kualitas maupun kuantitas. Kelompok illegal logging aspal (asli tapi palsu, red) yakni, penebangan yang dilakukan pemilik HPH. Mereka menebang tidak sesuai rencana yang telah disahkan.

Selanjutnya, kelompok illegal logging terselubung, merupakan kelompok penebang kayu yang memanfaatkan izin membangun kebun HTI, namun memilih areal berhutan.
“Dengan memanfaatkan izin pemanfaatan kayu dari pemerintah, maka kayu yang diperoleh dari hasil pembersihan lahan, menjadi legal. Meskipun kayunya sudah habis,” ujarnya.

Kelompok yang ketiga, adalah illegal logging murni. Kelompok ini melakukan penebangan tanpa ada izin sama sekali dari pemerintah. Penebangan dapat dilakukan dimana-mana dan tidak beraturan, serta megeluarkan kayu dari hutan, tanpa disertai dokumen.

Training Assisten, Forest Law Enforcment, Governance and Trade (FLEGT), Hamonangan Endy S. Sirait, sadar bahwa kondisi hutan pada saat ini sudah semakin kritis. Ia mengajak beberapa organisasi dan LSM serta mahasiswa, berperan aktif dalam mengurusi permasalahan pengelolaan dan perlindungan hutan.

“Tugas itu, bukan hanya untuk Fakultas Kehutanan saja. Tapi juga seluruh mahasiswa di Kalbar. Karena itulah, mari bersama-sama berpartisipasi mengantisipasi pengelolaan dan perlindungan hutan ini,” kata Hamonangan.□

0 komentar: